Siapa
yang menjadi warga Negara dijelaskan dalam pasal 26 UUD – 1945
a. Pasal 26
(1) Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Penduduk ialah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Hal-hal mengenai warga negara
dan penduduk diatur dengan undang-undang.
- Istilah Pribumi Dan Non Pribumi
Sering kali mungkin kita mendengar
ada suatu kalaangan masyarakat yang menyebutkan mereka sebagai seorang
“pribumi” dan sang pendatang entah itu dari satu pulau yang sama atau berbeda
kepulauan di sebut sebagai “non pribumi”, suatu anggapan yang saya bilang
adalah “persepsi bodoh”, Di negara yang hampir penduduknya berbeda, suka,
agama, ras, dan adat masih mementingkan kepentingan individu kelompok priyoritas,
dan minoritas akan di anggap sebagai yang berbeda, dan yang lebih menakutkan
akan muncul perpecahan, perang suku, tawuran antar warga dsb, sehingga kita
melupakan nilai kemerdekaan yang di berikan para pahlawan kita, sehingga akan
terasa sia-sia darah, kringat dan energi yang mereka berikan, “ Bhineka Tunggal
Ika” pun seakan hanya sebuah kalimat indah yang tergambar di sebuah simbol
bergambar “burung garuda” bagi saya pribadi semua itu hanya omong kosong, dan
persepsi seorang yang bodoh yang ingin memecahkan kekuatan kita, tidak ada,
orang jawa, medan, aceh, sunda, banjar, dsb semua sama dan satu bernama
“indonesia” dan negara ini pun lahir bukan karena kesamaan yang mendominasi
tetapi karena perbedaan yang mengikat kita pada tujuan yang sama.
Adakah Penduduk asli indonesia
dan domisilinya??
Tidak ada penduduk asli indonesia
semua sama mengikat dan merangkul menjadi sebuah masyarakat yang di namakan
warga indonesia, dari perbedaan suku, ras, dan agama, mereka mengikat menjadi
satu penduduk berintelektual tinggi dan saling menghargai sesama manusia.
- Mengapa Timbul Istilah Pribumi Dan Non Pribumi
Isu pribumi dan pribumi timbul di
karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa dan bernegara belum
masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita, sehingga timbul
kekuatan kelompok, kelompok sparatis masyarakat dengan orientasi mementingkan
kelompoknya atas nama, agama, tuhan dan yang lebih menakutkan atas nama warga
negara indnesia.
- Siapa yang di maksud non pribumi
TIDAK ADA
Belanda membagi masyarakat dalam
tiga golongan: pertama, golongan Eropa atau Belanda; kedua timur asing China
termasuk India dan Arab; dan ketiga pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku
bangsa hingga muncul Kampung Bali, Ambon, Jawa dan lain-lain. Belanda juga mengangkat
beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia
dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa
diantara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So
Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta,
Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Sebetulnya terdapat juga kelompok
Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama
etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun
1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam
“Republik” Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam
perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi
sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740
dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut
melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa
kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini
mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi
diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini
menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di
Hindia Belanda.
Secara umum perusahaan Belanda dan
pihak swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture,
perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi
etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor
impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya
bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam
industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323).
Bidang pelayaran menjadi sektor
utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya
mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa
dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan
angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada.
Pada tahun 1816 sekolah Belanda
telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-anak
Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anakTionghoa kaya diijinkan masuk sekolah
Belanda,tetapi kesempatan masuk sekolah Belandaamat kecil. Maka pada tahun
1901 masyarakatTionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengannama Tionghoa
Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan di berbagai kota di
Hindia Belanda.
Perhatian Pemerintah Tiongkok terhadapsekolah THHK ini mulai besar,
banyak guru yang dikirim ke Tiongkok untuk dididik. Melihat perkembangan baru
ini
pemerintah kolonialBelanda khawatir kalau tidak dapat menguasaigerak orang
Tionghoa maka didirikan sekolahBelanda untuk orang Tionghoa. Namun biaya di
sekolah Belanda untuk anak Tionghoa ini sangat mahal, kecuali untuk mereka
yang
kaya, makaanak Tionghoa yang sekolah di THHK lebihbanyak. Dalam
perkembangan berikutnya Sekolah Belanda lebih dipilih karena lulusan dari sekolah
Belanda gajinya lebih besar dan lebihmudah mencari pekerjaan di kantor-kantor
besar. Banyak orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi kenyataannya
tidak. Para pengelola eTHHK ini ternyata lebih tanggap terhadap perubahan jaman
sehingga masih tetap dipercaya oleh sebagian orang Tionghoa, bahkan hingga kini
masih ada dan dikenal sebagai salah satu skolah nasional
Masa Orde Lama
Pada jaman orde lama hubungan antara
Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik
Poros Jakarta-Peking. Pada waktu itu (PKI). Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem.
Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu waktu belum ada RRT) dengan Bung
Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok sebagai salah satu 5 negara
besar (one of the big five) berdiri dibelakang Republik Indonesia. Orang
Tionghoa mendapat sorakan khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion
Solo olahragawan Tony Wen dengan isterinya (bintang film Tionghoa) menyeruhkan
untuk membentuk barisan berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan
sesuai contoh batalyon Nisei generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam
perang dunia ke II, di Malang ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan
dengan lain-lain kesatuan bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (gol.
Menado), Trip (pelajar) dsb. Pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial dapat
menimbulkan bentrokan bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak
pembentukan batalyon tsb. Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda
dianjurkan untuk masing-masing masuk kesatuan-kesatuan Pribumi menurut kecocokan
pribadi.
Namun etnis Tionghoa yang begitu
dihargai pada masa orde baru, justru menjadi sasaran pelampiasan massa yang
dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang didalangi oleh Partai Komunis
Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina, padahal anggapan
seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa
yang sanagt membuat trauma etnis Tionghoa selain kierusuhan Mei 98.
Masa Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan
politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke
orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan
orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di
Indonesia. Bersamaandengan perubahan politik itu rezim
Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini
dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping
itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan
tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia
diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap
masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di
samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi
nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya
itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi
Intelijen (Bakin).
Ada beberapa peraturan yang mengatur
eksistensi etnis Cina di Indonesia yaitu,
Pertama, Keputusan Presiden Kabinet
No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama. ·
Kedua, Instruksi Presidium Kabinet
No. 37/U/IV/6/1967 tentang · Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya
dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di
lingkungan Bakin.
Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet
RI No. SE-06/PresKab/6/1967, · tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup
pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah
terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI
keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
Keempat, Instruksi Presidium Kabinet
No. 37/U/IN/6/1967 tentang · tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina
disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI
harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
Kelima, Instruksi Menteri Dalam
Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia. ·
Keenam, Surat Edaran Dirjen
Pembinaan Pers dan Grafika No. · 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan
pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina.
Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Misalnya
semua sekolah Tionghoa dilarang
di Indonesia.Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesiaharus menerima
pendidikan seperti anak orangIndonesia yang lain secara nasional. Bahkanpada
jaman orde baru tersebut ada laranganmenggunakan istilah atau nama Tionghoa
untuktoko atau perusahaan, bahasa Tionghoa samasekali dilarang untuk diajarkan
dalam bentukformal atau informal. Dampak dari kebijakanorde baru ini selama 30
tahun masyarakatTionghoa Indonesia tidak dapat menikmati
kebudayaabn mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari
raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme
di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
C. Etnis Tionghoa Masa Kini (Era
Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998
telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia.
Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi
mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor
dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran
penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha
kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini
sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi
terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun
atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah
menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara,
misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa
Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu,
pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid
Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik
minat warga Tionghoa
Para pemimpin di era reformasi
tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin masa orde baru.Sejak masa
pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang
Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur
pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah
pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan
warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu
hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa,
Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur,
Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan
pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada
Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual
keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur
nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan
Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah.
Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas.
SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran
imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat
orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan KTP.
Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam
bidang kesehatan dan pendidikan. Setelah 32 tahun ‘berdiam’ mereka kembali
melakukan kegiatan sosial, aktif dalam bidang pendidikan. Bahasa Mandarin mulai
diajarkan di pelbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di samping bahasa
Inggris. Jadi mereka mulai berani memasuki bidang-bidang di luar bisnis semata.
Mereka membuka diri dan memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Merayakan
ritual agama dst. Filsafat kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah: ‘berakar di
bumi tempat berpijak’, artinya: (lahir dan) menetap di Indonesia selama-lamanya